Ucapan: “Semua sudah takdir, mari kita berdoa...” —ucapan lembut, seolah menyejukkan. Tetapi di baliknya ada kelicikan: takdir dijadikan selimut untuk menutupi tanggung jawab manusia.
Seakan-akan roda kendaraan taktis Brimob yang menggencet pengemudi ojek online itu bukan perkara kelalaian atau kesewenang-wenangan, melainkan skenario langit yang tak mungkin dipersoalkan. Seakan-akan hukum tak lagi punya ruang, karena yang bicara adalah “ketetapan Tuhan”.
Inilah wajah lama bernama Jabariyah, teologi fatalistik yang menganggap manusia tak punya kuasa atas apa pun. Koruptor bisa berucap, “Saya mencuri karena Allah mengizinkan.” Penjahat bisa berkilah, “Kalau Allah tak kehendaki, saya tak
mungkin berbuat.” Dan pejabat pun bisa nyaman berkata, “Itu sudah takdir, mari kita ikhlaskan.”
Padahal, di balik semua itu ada akal sehat yang dihina dan keadilan yang digadaikan. Sebab, jika semua semata takdir, apa gunanya pengadilan? Apa perlunya hukum? Apa faedah doa, bila doa tak bisa mengubah nasib?
Islam sendiri menolak fatamorgana ini. Kitab suci jelas berkata: “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d:11). Artinya, ada ruang ikhtiar, ada beban tanggung jawab. Takdir bukan alasan untuk menutupi dosa sosial
Ketika pejabat berlindung di balik takdir, sebenarnya ia sedang meremehkan Tuhan. Ia menjadikan Sang Pencipta sebagai kambing hitam atas keteledoran manusia. Sungguh, itu bukan religiusitas, melainkan kemunafikan yang dibungkus doa.
Dalam bahasa rakyat: “Buset, empuk banget ngomongnya!” Betul. Ucapan itu memang empuk, tapi empuk seperti kasur lapuk yang menyembunyikan kutu. Di permukaan nyaman, di dalamnya gatal dan busuk.
Jika begini terus, takdir akan berubah fungsi: bukan sebagai jalan iman, melainkan sebagai alibi politik. Dan negeri pun semakin kehilangan keberkahan, sebab hukum dilumpuhkan oleh retorika, dan tanggung jawab dikubur dengan doa basa-basi.